Bagi sebagian orang kualitas hidup erat
kaitannya dengan gaya hidup yang dijalani. Mereka yang yang mampu tapi
memilih menjalani gaya hidup sederhana sering dicap aneh, mengekang diri
bahkan pelit.
Collins English Dictionary memberi definisi gaya hidup (life style) sebagai berikut:
“A set of attitudes, habits or possessions associated with a particular person or group” –
Sekumpulan sikap, kebiasaan atau kepemilikan yang terkait dengan seseorang atau kelompok tertentu.
Dari definisi diatas bisa kita lihat bahwa gaya
hidup seseorang
tidak harus ada kaitannya dengan status sosial ekonomi
seseorang. Orang bisa saja kaya raya tapi kalau memang pada dasarnya
bersahaja, gaya hidupnya akan merefleksikan hal tersebut, contoh: Warren
Buffett.
Sayangnya
pembicaraan gaya hidup cenderung identik dengan pakaian, tempat
nongkrong, hiburan, shopping dan kehidupan glamour. Kalau tidak pecaya,
lihat saja kolom gaya hidup dalam berbagai majalah. Seakan-akan hanya
gaya hidup ala selebritis yang pantas menjadi acuan dan layak ditiru.
“Hidup cuma sekali, siapa sih yang gak mau hidup mewah?”, komentar beberapa teman. “Apalagi kalau mampu, gue sih hidup mau enjoy”
lanjut mereka. Tentu saja itu semua pilihan pribadi masing-masing dan
tidak ada yang berhak mencampurinya. Tulisan ini tidak bermaksud
menghakimi ataupun menggurui, hanya refleksi pribadi atas pilihan gaya
hidup.
Sebenarnya apa sih hidup enak? Mengapa pendapat
gaya hidup enak bisa mirip-mirip padahal katanya setiap orang unik? Dan
mengapa bisa ada orang yang tetap memilih gaya hidup sederhana meskipun
mampu?
Orang yang memilih gaya hidup sederhana meski mampu
bisa dijelaskan dengan analogi berikut. Ketika lapar kita cari makanan.
Piring nasi Padang pertama rasanya makyus. Piring kedua masih makyus. Melihat piring ketiga rasanya sudah mual kekenyangan. Tubuh memberi tahu kapan enough is enough.
Sementara gaya hidup lebih menyentuh sisi psikis.
Kita distimulasi untuk terus merasa lapar lewat iklan, gaya hidup di
sinetron, lingkungan sosial dsb. Semakin banyak yang dikonsumsi semakin
tinggi taraf hidup kita. Semakin branded barang yang kita kenakan
semakin berkelas dan tinggi cita rasa kita. Dengan kondisi demikian
pikiran kita tidak tahu lagi apa itu cukup.
Dalam pelajaran ekonomi dasar kita diajarkan ada
yang namanya ‘kebutuhan’ dan ‘keinginan’. Kebutuhan sifatnya terbatas
mencakup pangan , sandang dan papan sementara keinginan tidak terbatas.
Saya rasa jaman sekarang konsep keinginan dan kebutuhan sudah kabur.
Kita butuh makanan (pangan) tapi maunya makan di restoran kelas atas.
Kita butuh baju (sandang) tapi maunya yang bermerek.
Kita butuh tempat tinggal (papan) tapi maunya rumah besar lengkap dengan fasilitas kolam renang, taman dan pembantu.
Kita butuh HP buat komunikasi tapi maunya yang model terbaru biar dianggap gaul. Kalau perlu antri depan toko semalaman biar jadi orang pertama yang punya.
Orang bilang jaman sekarang biaya hidup semakin
meningkat. Kalau ingin kelihatan gaul atau jaga gengsi jadi ‘kebutuhan’,
jelas saja biaya hidup jadi mahal. Bila keinginan materi bisa sengaja
distimulasi agar tetap lapar tentu keinginan juga bisa dilatih untuk
mengenal arti kata cukup. Materi hanyalah sarana penunjang hidup bukan
tujuan hidup. Ungkapan kerennya, kita makan untuk hidup bukan hidup
untuk makan.
Warren Buffet tetap menjalani kehidupan sederhana
karena baginya berkesempatan menggeluti bidang pekerjaan yang dicintai
sudah merupakan imbalan tersendiri. Menjalani hidup sederhana terasa
jauh lebih mudah bagi mereka yang sadar bahwa kita hidup hanya sekali.
Setiap tarikan napas mendekatkan kita pada kematian sedikit demi
sedikit. Alih-alih mengejar tropi kehidupan yang fana, mereka mencari
tahu apa tujuan hidup mereka lahir ke dunia dan sibuk memenuhi panggilan
hidupnya.
Jadi mengapa hidup sederhana kalau bisa bisa mewah? Jawabannya, karena sudah kenyang. Daripada dipaksakan perut jadi buncit.